Rabu, 19 Juni 2013

Cuplikan Novel Chakima Family part 1



          Seperti biasa, Sebagai Siswi kelas 8 SMP, harus bangun pagi-pagi sekali. Namaku Chika Chakima. Aku lebih rajin daripada kakakku Chiko, ataupun kedelapan adikku. Yaitu Chiku, Choki, Chaka, Chaki, Choka, Chaku, Chiki, dan Choko.
          “Chika jangan menginjak mainan Choko, karena aku yakin dia akan menangis.” Ujar Ibu, orang tersibuk di dunia. Semuanya dilakukan oleh ibu. Ayah, selalu bekerja paruh waktu tanpa henti.
          “Saatnya aku pergi. Sebulan lagi aku akan pulang.”
Chiko, sudah menempati bangku SMA. Ia sangat menyayangi pacarnya, yang bernama Caroline.
          “Aku akan menemuimu di kelas… aku janji…” ujarnya suatu hari di telepon genggam.
Chiku, laki-laki yang sangat egois. Tak pernah sesekali mementingkan orang lain. Menurutku, apabila Ia kelak menjadi miskin, aku TIDAK AKAN PERNAH memungutnya dan menganggapnya sebagai adikku.
          “Aku tak ingin memberimu uang karena nantinya aku akan bangkrut. Aku tidak mau uang sakuku dikurangi untuk pengemis sepertimu!” ujarnya kepada seorang pengemis yang datang ke rumah.
Choki. Ia sekarang kelas 5 SD. Sangat suka merusak barang terutama barang adik-adiknya. Tak pantas disebut sebagai, ‘kakak’
          “Ini adalah hakku  untuk mengambil mainanmu… hahaha…”
Chaka, Chaki, dan Choka. Mereka adalah anak kembar. Tidak kembar identik, namun masing masing selisih usia mereka 5 menit. Sifat yang dimiliki sangatlah berbeda. Chaka, anak yang ambisius.
          “Tidak! Jawaban yang benar adalah Endonesia! Bukan Indonesia!”

Chaki, si pendiam yang hanya dapat angguk-angguk atau geleng-geleng.
Choka. Berbadan besar dan paling bisa menghabiskan makanan di rumah. Mereka bertiga sekarang duduk di kelas 3 SD.
Chaku. Hm… Lumayan baik, namun ia sangat usil, jail, dan ceroboh.
          “Aku tidak menempelkan permen karet itu. Aku mulanya aku mengunyahnya.”
Baiklah. Sekarang Chiki. Chiki adalah satu-satunya perempuan di 10 bersaudara ini, selain aku. Chiki masih duduk di TK-A. Mungkin belum begitu terlihat sikapnya. Tapi aku akui, dia adalah siswi yang bola matanya dikelilingi oleh uang.
“Aku mau itu… aku mau ini…”
Choko. Belum bisa dilihat sikapnya. Yah… dia adalah bayi usia 6 bulan.
          Sedangkan aku, Sebagai kakak perempuan, Selalu mendapat imbasnya. Melerai Chaka dan Choki, menyembunyikan makanan dari Choka, menghalangi Chaku menjaili adik-adik… dan aku menjadi panutan yang harus bersikap sebaik mungkin.
“Choko, jangan gigit garpu…” ujarku menarik garpu tersebut.
“Oeeee!” Choko menatapku dengan wajah yang sembap.
“Aw… aku hanya bercanda… oke?” Ujarku lalu menggendongnya.
“Chika tidak ada waktu lagi untuk berbasa-basi. Adik-adikmu harus berangkat sekolah sekarang. Jadi, mungkin Chiko akan mengantar kalian.” Ujar Ibu yang sudah selesai membereskan sisa-sisa sarapan pagi ini.
“Aku akan menyetir.” Ujarku menyerahkan Choko kepada ibu.
“Tidak. Kau belum diizinkan.” Ibu melarang dilengkapi gerakan tubuh.
“Apa kau tahu seberapa lama Chiko menelpon pacarnya?” Tanyaku mengingatkan setiap saat Chiko menyetir ia selalu menelpon kekasihnya dalam waktu kurang lebih 30 menit.
“Akan kuberitahu dia nanti,” ujar Ibu lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Aku lebih baik naik bus kota,” ujarku lalu pergi. Pagi-pagi begini aku yakin akan ada yang mengacaukan pagi indahku. Siapa lagi kalau bukan tetangga sebelah, Andreas Matulessi. Ia… suka sekali membuntutiku. Seperti Bodyguard.
“Selamat pagi… Chika Chakima. Aw… keluarga harmonis yang selalu aku suka.” Ujar Andreas.
“Setiap pagi kau mengatakan hal yang sama. Dan kau tahu itu. Untuk apa kau melakukannya?” tanyaku bingung.
“Aku tak tahu.” Ujar Andreas menggelengkan kepalanya.
“Hei, Chika... Kau mau ikut lomba tidak? Kudengar kau mahir membuat karangan seperti Lagu,” Ujar Andreas berjalan mengikutiku.
“Aku tidak begitu tertarik mengikuti lomba seperti itu. Kau mengikuti lomba tersebut Andreas?” tanyaku.
“Tidak... aku tidak mahir dan aku tak begitu suka.” Andreas menggelengkan kepalanya. Ia menunjukkan ekspresi tidak suka.
“Memang apa hadiah untuk lomba tersebut?” tanyaku.
“Lumayan banyak. Ada SmartPhone, TV LED, banyak deh!” Andreas membujuk.
Aku sebenarnya tidak begitu tertarik karena harus masih mengurus adik-adikku yang bawel.
          Sesampainya di Halte Bus, aku melihat Anin, Teman sekelasku yang sangat pendiam. Setiap hari ia selalu berangkat pagi-pagi untuk membersihkan mejanya dari kotoran ayam yang selalu diberikan oleh teman nakalku, Aldo.
          “Hai nin,” ujarku pelan. Aku duduk disebelahnya. Andreas menyusul dari belakang, membawa Botol Aqua 1 ½ Liter.
          “Andreas, untuk apa itu?” tanyaku.
          “Apanya?” tanya Andreas bingung.
          “Itu...” ujarku menunjuk botol minum yang dibeli Andreas.
Andreas melihat kearah botol minumnya.
          “Ooooh, Ini? Ini adalah persediaan minumku. Sehari aku bisa menghabiskannya.” Andreas tersenyum manis.
          “Anin, kau sudah mengerjakan Tugas dari bu guru matematika?” tanyaku.
Anin mengangguk. Ia adalah seorang yang sangat pendiam.
          Bus Trans sudah tiba. Banyak penumpang yang masuk sehingga terpaksa aku dan Andreas berdiri. Anin sudah dapat tempat duduk. Ia sangat beruntung, batinku.
Saat seorang nenek sedang mencari tempat duduk, Anin segera berdiri mempersilahkan nenek itu duduk. Subhanallah...
          “Baik sekali Anin…” ujarku kepada Andreas.
          “Kau seperti tidak tahu sikap orang-orang baik seperti itu… mereka selalu membawa buku kesana-kemari… Bersikap sopan… pendiam… sedangkan kau? Kebalikannya,” Sindir Andreas.
          “Setidaknya aku tidak mengerjai anak kecil saat mereka bermain,” ujarku memukul Andreas pelan.
          Sampai di sekolah. SMP Margarinch. Nama sekolah yang cukup aneh. Aku harus berjalan cukup jauh karena letaknya di Atas bukit, Bus tak mungkin naik.
          “Aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan, kenapa ada orang sepertimu yang sangat menyebalkan?” tanyaku heran.
          “Mau tau kenapa?” Tanya Andreas. Aku mengangguk.
          “Karena itu takdir,” Bisiknya pelan.
Aku memandangnya heran, ia sangat bijaksana namun suka meledek orang. Dari kejauhan kau akan melihat payung kecil berwarna Pink, Seorang gadis dikelilingi Lima orang Body Guard. 2 Orang berbadan besar didepan, dua lagi dibelakang dan satu orang pendek membawa payung diserong. Namanya, Luciana Fernando. Ia adalah gadis yang sangaaaaaat kaya. Well, aku dan Andreas biasa saja kepadanya, tetapi tingkah lakunya baik, ia suka sekali fashion.
Tiba-tiba, seseorang menabrakku dari belakang. Ia adalah Fredric Arsenal. Ia sangat ceroboh. Ia pernah menumpahkan susunya kearahku, melempar ember berisi air kepadaku, Menginjakku… Errr… aku ingin sekali memukulnya. Tapi aku tak tega karena ia benar-benar tak sengaja. Ia hanya… perlu mengontrol dirinya.
Kita… Memiliki geng… bernama… Gopak. Terdiri dari aku, Andreas, Lucy, dan Fredric.
“Fred… aku ingin bertanya soal kemarin…” ujar Lucy. Fred adalah panggilan akrab dari Fredric.
“Soal itu… anu… Lucy… a… a… aku… tt… tidak sengaja…” Ujar Fred kepada Lucy. Lucy juga merupakan panggilan Luciana juga. By The Way, Lucy marah karena kemarin, saat kami belajar bersama di rumah Lucy, neneknya berkunjung. Fred baru keluar dari toilet untuk buang air… Karena lokasi kami dekat kolam renang, dan ada beberapa Pelayan sedang mengepel, Fred terpeleset dan menabrak neneknya Lucy sehingga keduanya tercebur kedalam air. Oh ya, Fred sempat menabrak papan Wet Floor yang sangat besar membuat kakinya mendorongnya sehingga mengenai kaki nenek. Kabarnya nenek harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit.
“Sudahlah…” ujarku menenangkan Lucy.
“Siapa yang marah? Aku tidak marah. Kita ini kan, teman. Betul?” ujar Lucy tersenyum ceria. Amarahnya hilang seketika. Ternyata itu hanya Akting.
“Betul…” ujar Andreas menepuk bahu Fred. Aku tersenyum melihat mereka.
Kringggg!!!!!!!!!!!!
Bel sekolah berbunyi. Gopak menuju kelas masing-masing. Ruangan kami berbeda, Andreas dan Fred ada di kelas 7A, aku berada di kelas 7B, sementara Lucy di kelas 7D.
          “Hai Chika…”
          “Hai Chika…”
          “Pagi Chika…”
          “Chika… apa kabar?”
          “Halo Chika…”
Pagi ini semua orang menyapaku. Aku hanya dapat menjawabnya dengan senyuman, karena tak ada kesempatan menjawab dengan ucapan. Mrs. Almond, guru seni tari memasuki kelasku. Padahal ini bukan jamnya. Sekarang seharusnya ia berada di ruangan 7A.
          “Morning Student…” ujar beliau ramah selagi memasang sesuatu di papan tulis.
          “Morning ma’am…” jawab murid-murid seraya mendekati Mrs. Almond. Mrs. Almond membalikkan badan yang membuat terkejut anak-anak lalu kembali ke tempat duduk masing-masing.
          “Saya akan mengumumkan sesuatu. Kemarin diadakan rapat guru tentang kesenian Drama dalam pentas seni yang diadakan bulan depan. Akhirnya, kami memutuskan akan memberikan tema yang berbeda dalam setiap perwakilan kelas. Dan tema untuk kelas 7B adalah… “Alice in Wonderland” Untuk nantinya dipertimbangkan oleh ketua kelas. Dalam pembagian peran.” Ujar beliau lalu berlalu.
Ketua kelas? Aku ketua kelas 7B. Now… what should I do???
          “Begini saja… kita akan mengadakan Voting untuk peran. Peran Alice in Wonderland sangat banyak. Pastilah semua mendapat peran.” Ujarku. 

Hm... itu belum sepenuhnya part 1 dari novel Chakima Family. Gimana? seru kan? pasti penasaran, tunggu terbitan novel keduaku ini yaaa
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar